Pluralisme dalam Islam
Pengakuan terhadap pluralisme agama dalam sebuah komunitas sosial menjanjikan dikedepankannya prinsip inklusivitas (keterbukaan) –suatu prinsip yang mengutamakan akomodasi dan bukan konflik- di antara mereka. Sebab, pada dasarnya masing-masing agama mempunyai berbagai klaim kebenaran yang ingin ditegakkan terus, sedangkan realitas masyarakat yang ada terbukti heterogen secara kultural dan religius. Oleh karena itu, inklusivitas menjadi penting sebagai jalan menuju tumbuhnya kepekaan terhadap berbagai kemungkinan unik yang bisa memperkaya usaha manusia dalam mencari kesejahteraan spiritual dan moral. Realitas pluralitas yang bisa mendorong ke arah kerja sama dan keterbukaan itu, secara jelas telah diserukan oleh Allah Swt dalam QS. Al-Hujurat ayat 14. Dalam ayat itu, tercermin bahwa pluralitas adalah sebuah kebijakan Tuhan agar manusia saling mengenal dan membuka diri untuk bekerja sama.
Dalam Alquran
Menurut Abdulaziz Sachedina (2001), argumen utama pluralisme agama dalam Al-Qur’an didasarkan pada hubungan antara keimanan privat (pribadi) dan proyeksi publiknya dalam masyarakat Islam. Berkenaan dengan keimanan privat, Alquran bersikap nonintervensionis (misalnya, segala bentuk otoritas manusia tidak boleh menganggu keyakinan batin individu). Sedangkan dengan proyeksi publik keimanan, sikap Alquran didasarkan pada prinsip koeksistensi. Yaitu kesediaan dari umat dominan untuk memberikan kebebasan bagi umat beragama lain dengan aturan mereka sendiri. Aturan itu bisa berbentuk cara menjalankan urusan mereka dan untuk hidup berdampingan dengan kaum muslimin. Maka, berdasarkan prinsip itu, masyarakat
Islam sebagai tradisi moral sangat mengakui fakta akan pluralisme dan kemerdekaan beragama. Dasar pengakuan itu terdiri dua hal: pertama, karena pluralisme merupakan ajakan terhadap penggunaan pikiran manusia. Alquran memberikan kedudukan yang sangat penting terhadap pilihan rasional dan dorongan individu. Menjadi seorang muslim adalah urusan pilihan rasional dan cara respon individu. Penekanannya di sini bukan hanya karena nilai etika itu rasional dan ilmiah, namun karena layak dan dapat dimengerti oleh semua manusia. Dalam Alquranpun juga dijelaskan bahwa tidak ada pemaksaan dalam beragama, karena beragama merupakan pilihan dan kebebasan individu. Kedua, penerimaan sosial atas nilai Islam sebagai sebuah pemahaman oleh individu dan masyarakat yang berbeda-beda. Maksudnya, basis pluralisme ini senantiasa dikelola oleh perbedaan pendapat yang secara luas diperbolehkan oleh norma-norma sosial. Dialektika sosial akan mengembangkan dan menguatkan definisi yang bisa diterima tentang nilai etika (M. Khalid Masud, The Scope of Pluralism in Islamic Moral Traditions, 2002). Maka, tradisi dialog antar agama menjadi penting guna mengembangkan nilai-nilai etika Islam yang sangat menghargai kebebasan beragama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar